Jumat, 05 Desember 2014

Desember ~

DESEMBER

Pikiran seperti apa yang paling menakutkan, selain fikiran menerka-nerka? Dan aku selalu berada di situasi itu. Mengira di cinta, mengira tak di cinta. Mengira di harapkan, mengira tak di harapkan
Saat dikira dicintaimu, kepercayaan diri seperti apa yang ku simpan di hatiku hingga berfikir kau mencintaiku? tak ada, selain bahwa aku mencintaimu. Sebab jika cinta – harus – beralasan, sungguh bahkan aku tak menemukan sesuatu di diriku yang kufikir membuatmu menjatuh cintaiku. Lantas, salahkah bila akhirnya di saat-saat tertentu aku berfikir manakah mungkin kau mencintaiku?, sedang sesering waktu di saat ingin ku utarakan tanya dan membuka percakapan-percakapan perihal kita. Entah, seberapa besar usahaku itu, sebesar itu kau -sepertinya- sedang mengatur jarak denganku.
Sedemikian mengerikannya menerka-nerka itu, ahh bagaimana jika salah terka-ku? 
 
 Ajari aku menerka dengan baik, perjelaskan padaku apa yang abu di fikirku. — Sedang tentang aku? Ku perjelas lagi, Aku Mencintaimu :’)

Untuk banyak hal yang telah ku lewati di perjalananku untuk meyakinkanmu, terimakasih. Telah tanpa sengaja hadir di hidupku dan membuatku berjuang untuk suatu hal yang dulu tak pernah kubayangkan, mencintai perempuan sebegininya.

Jika saja kuceritakan kepada entah siapa kisah cinta ini, kupastikan mereka akan berfikir aku sedikit gila, sebab mencintai seseorang yang tak pernah ku paham cara mengerti isi hatinya. Tanpa mereka tau, akan betapa gilanya aku jika mencoba berhenti.

Karena bahkan akupun begitu sering bertanya-tanya, sejauh inikah cinta itu berperan? Yang membuatku tak pernah merasakan detak jantung apapun seirama seperti ketika jatuh cinta padamu. Dan tak pernah ada yang bisa melukaiku dengan rasa sesakit seperti ketika kemarin kau memintaku berhenti mencintaimu.

Maka jika bagimu perasaan-perasaan yang kulewati ini tak seberapa. Benar, ku akui aku belum cukup miliki pengorbanan untuk membuktikan cintaku. Hanya saja, semoga panjangnya waktu yang telah terlewati, tidak membuatmu berfikir bahwa aku sedang membercandai hidupku pun hidupmu.
Sebab seperti ada yang di tarik paksa dari hatiku, kebahagiaan.

Entah perasaanku saja, pelan dan begitu terasa di sensitifnya rasaku seolah kau membuat jarak denganku, tak lagi hanya di raga tapi juga di hatimu. Itu, sungguh merampas bahagiaku. Maka tak ada yang bisa menjelaskan, akan bagaimana hatiku jika kita merentang jarak sekali lagi. — 

 Maka ini pengakuanku; meski cinta tak selalu bersama , meski defenisi cinta itu adalah merelakan, dan meski cinta itu haruslah ‘saling’. Kamu, tetaplah menjadi pinta di doa-doaku.

Demi yang tak bisa aku sampaikan, demi yang aku simpan sendiri, demi yang sungkan aku keluhkan, demi yang aku perjuangankan seorang, demi yang aku titip melalui doaku, demi yang aku taruh harapan kan berbalas, ialah RINDU. Bolehkah Tuhan, ia menjelma bahagia saja? Tidak harus seluka ini, agar ku bisa memastikan jikalau lah dia sedang merindukan seseorang, dia akan baik-baik saja.
Untuk rindu yang sering menepuk angin, yang tak pernah bisa terbiasa oleh pedihnya pengabaian. yang meski juta kali tertimpa, rasanya tetap saja sama. Tuhan, inikah cinta yang tak ubahnya ku sebut bertahan, maka ampuniku bila di lamanya waktu berjalan aku masih saja mengetuk pintu yang sama. Untuk ini, mohon bisikkan pula maaf ku padanya, untuk lagi-lagi mengusiknya.

Untuk rindu yang mungkin salah alamat, yang ku kukuh menyebut itulah rumah tuju terakhir, yang meski pintunya tetap abu abu, aku masih saja di sana. Tuhan, inikah cinta yang tak ubahnya ku sebut perjuangan, maka sungguh ku pinta jangan biarkan ku berbalik dan berputus asa dari berharap  hanya pada-Mu. Untuk itu, mohon sampaikan pula kekerasan kepalaku, untuk aku yang takkan ingin menyerah.

***
Adalah kau yang ku tulis di ingatanku, di doa-doaku, Senja ~

Sepertinya Desember punya nyanyiannya sendiri, kesedihan. Atau ini bukan tentang sekedar Desember? Bukankah di ruang ini memanglah menuliskan kesedihan? Maka jika Desember  selalu memiliki cerita sedih yang lebih, seharusnya bila Desember berakhir, kesedihan itu berakhir juga.
Mungkin bukan kesedihan, hanya saja kebahagiaan yang ditundakan. Mari tetap tersenyummm 

Kelak, entah di suatu waktu nanti. saat mungkin saja aku terluka dan di saat kata dan lisan ku berucap “aku baik-baik saja” sedang seluruh yang ada di dunia tak mempercayaiku, maukah kau saja yang mempercayaiku?

***
Bahagiamu, bahagiaku. Cukup kau bahagia, maka luka ku akan baik-baik saja :’)